Senin, 20 Juni 2011

Isu Lingkungan Nasional (Freeport)


ISU NASIONAL
FREEPORT DAN KERUSUHAN ABEPURA

KERUSUHAN di Abepura Papua menelan korban. Di depan Kampus Universitas Cenderawasih Abepura Papua, bentrokan dan kerusuhan berakhir dengan tewasnya empat aparat keamanan (3 Polri dan 1 TNI AU). Kerusuhan tersebut merupakan rangkaian protes-protes lanjutan dari tuntutan masyarakat Papua di Timika untuk menutup PT Freeport Indonesia (PT. FI). Mereka pun menuntut dibebaskannya para pengunjuk rasa yang ditahan oleh pihak keamanan.
 Sebelumnya, di tengah kunjungan Menlu AS Condoleezza Rice (14-15 Maret 2006) ke Jakarta dengan kawalan pasukan Marinir AS, tanah Papua justru memanas. Terjadi penghadangan massa di jalan masuk ke pertambangan PT. FI yang dipicu oleh kunjungan elit politik Papua (DPRP dan MRP) ke wilayah pertambangan PT. FI.

Para pengunjuk rasa menginginkan mereka diajak
serta dalam meninjau lokasi pertambangan PT. FI, namun ditolak oleh rombongan para elit politik Papua tersebut. Akibat dari kekecewaan itu, massa bergerak menuju Hotel Sheraton dan menghancurluluhkan berbagai fasilitas hotel, termasuk mobil-mobil milik PT. FI yang diparkir di halaman hotel.  Ada apa sesungguhnya di balik kerusuhan Abepura tersebut? Siapa dalang atau aktor di balik kerusuhan tersebut? Mengapa eskalasi gerakannya begitu cepat? Apakah ada indikasi konkret dari kelompok kepentingan tertentu yang ingin mengacaukan suasana politik di Papua? Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak mudah untuk dijawab namun tetap dapat diurai secara sosial politik kaitannya dengan kehadiran PT. FI di Mimika.

Freeport ”undercover”
Secara kasat mata, fenomena konflik sekitar PT. FI ini, memberikan satu gambaran yang menarik untuk dicermati dengan saksama. Tidak mustahil, konflik-konflik yang berkaitan dengan eksistensi PT. FI bukanlah merupakan satu fenomena baru dari ketidakberesan penanganan PT. FI selama ini sebagai warisan kebijakan pemerintahan masa lalu (Orba). Sudah menjadi rahasia umum bahwa Kontrak Karya atau Contract of Work Area yang ditangani pemerintah Orba yang serbakorup telah mengabaikan prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat. Sejak awal kehadiran PT. FI di Mimika (Kontrak Karya I, 7 April 1967) telah memicu konflik-konflik baru, utamanya dengan masyarakat adat setempat (Suku Amungme dan Komoro).

Perlakuan yang tidak akamodatif dari pemerintah dan PT. FI terhadap tuntutan masyarakat setempat mengakibatkan protes-protes yang terus-menerus baik dilakukan secara terbuka maupun secara laten. Oleh karena itu, manifestasi atau perwujudan konflik melalui protes-protes dan demonstrasi, seakan mengatakan kepada publik bahwa pertentangan pemerintah dan PT. FI dengan masyarakat adat Papua ini adalah perseteruan yang "abadi". Indikasi ini diperkuat dengan adanya dominasi kekuasaan atas hak-hak sipil maupun adat masyarakat setempat. Konflik ini merupakan fenomena gunung es (iceberg phenomenon) karena apa yang terlihat dan teramati publik hanyalah konflik-konflik di permukaan, sementara hakikat konflik (laten) yang lebih besar nyaris tidak mudah dideteksi.

Lokasi pertambangan PT. FI berupa gunung biji tembaga (Ertsberg), pertama kali ditemukan oleh seorang ahli geologi kebangsaan Belanda, Jean Jacqnes Dory pada 1936. Kemudian ekspedisi Forbes Wilson tahun 1960 menemukan kembali Ertsberg. PT. FI pertama kali melakukan penambangan pada bulan Desember 1967 pasca-Kontrak Karya I (KK I). Ekspor pertama konsentrat tembaga dimulainya pada Desember 1972 dan beberapa bulan kemudian tepatnya Maret 1973 projek pertambangan dan Kota Tembagapura ini diresmikan oleh Presiden Soeharto.

Setelah sekian lama dilakukan ekplorasi (dan juga eksploitasi tentunya), kandungan tembaga semakin berkurang dan pada 1986 ditemukan sumber penambangan baru di puncak gunung rumput (Grasberg) yang kandungannya jauh lebih besar lagi. Kandungan bahan tambang emas terbesar di dunia ini, diketahui sekitar 2,16 s.d. 2,5 miliar ton dan kandungan tembaga sebesar 22 juta ton lebih. Diperkirakan dalam sehari diproduksi 185.000 s.d. 200.000 ton biji emas/tembaga. Dengan demikian, PT. FI berhasrat lagi untuk memperpanjang KK I dan dibuatlah KK II pada Desember 1991, yang memberikan hak kepada PT. FI selama 30 tahun dengan kemungkinkan perpanjangan selama 2 X 10 tahun. Ini berarti KK II ini akan berakhir pada tahun 2021 dan jika diperpanjang maka akan berakhir 2041. Jadi setelah 35 tahun lagi tepatnya 2041, barulah PT. FI kembali menjadi "milik" NKRI.

Jadi siapa yang menikmati hasil dari PT. FI selama ini? Nyatanya sumbangan ke APBN hanya Rp 2 triliunan, saham pemerintah RI hanya 9,36 % sisanya milik asing. Tentu saja yang mendapat "kue raksasa" ini adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pengeleolaan pertambangan ini. Menurut kantor berita Reuters (”PR”, 18/3 2006) dinyatakan bahwa empat Big Boss PT. FI paling tidak menerima Rp 126,3 miliar/bulan. Misalnya Chairman of the Board, James R Moffet menerima sekira Rp 87,5 miliar lebih perbulan dan President Director PT. FI, Andrianto Machribie menerima Rp. 15,1 miliar per bulan.

Di samping itu, tentu tidak dinafikan bahwa keterlibatan pejabat Orba yang menangani PT. FI turut menikmatinya. Sebab, bukan tidak mungkin KK I dan II diwarnai dengan berbagai "permainan" KKN. Dengan memakai logika awam yang sederhana saja, siapa yang mau menjawab pertanyaan berikut "Mengapa pemerintah RI hanya memiliki saham sebesar 9,36%? Mengapa hasil tambang berupa biji tembaga dan emas tidak dihitung secara berbeda? Mengapa pula pengolahan akhirnya untuk menjadi tembaga, emas dll. itu dilakukan di luar negeri? Maukah para penentu kebijakan (pusat dan Papua) meminum air dari sumur yang tercemar tailing (limbah pasir berkimiawi yang diperkirakan sekitar 190 ribu ton sehari)?" Dan masih banyak lagi pertanyaan lainnya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya bukan untuk dijawab dengan logika kekuasaan yang mengedepankan pembenaran-pembenaran (dalih) atas semua yang telah dilakukan pemerintah.

Sejak Juli 1996 memang ada dana 1% dari laba kotor perusahaan untuk masyarakat Timika. Layaknya dana "bancakan", dana 1 % bagi pihak masyarakat adat menjadi sumber konflik internal diantara mereka. Dana tersebut disinyalir sebagai media peredam seteleh adanya kerusuhan Maret 1996. Lembaga Masyarakat Adat Amungme (Lemasa) awalnya menolak menerima dana tersebut. Masyarakat adat Amungme menolak semua bentuk perwakilan yang mengatasnamakan masyarakat setempat selain Lemasa. Sementara masyarakt adat lain (Komoro dll) merasa berhak juga atas dana tersebut. Terjadilah konflik-konflik internal sebagai babak baru persoalan PT. FI yang berkepanjangan. Walaupun kemudian dibentuk 7 yayasan yang mengelola dana tersebut dengan melibatkan berbagai unsur pimpinan adat setempat melalui SK Gubernur Irja, konflik-konflik diantara mereka tetap saja terjadi. Intinya adalah ketidakpuasan, ketidakadilan, dan pengelolaan yang tidak profesional.

Namun sesungguhnya konflik-konflik sekitar PT. FI telah dimulai sejak perusahaan itu berdiri. Pada saat persiapan awal projek PT. FI sekira 1960-1973 telah terjadi konflik dengan masyarakat adat setempat berkaitan dengan pengakuan identitas dan pandangan hidup yang berhubungan dengan alam dan konsep tentang Hai (konsepsi nenek moyang mereka di alam "atas"). Di samping itu konflik pertama terjadi manakala tim ekspedisi Forbes Wilson tahun 1960 meminta bantuan kepada masyarakat sekitar untuk membawa barang-barang keperluan rombongan, tetapi pada akhirnya tidak dibayar. Kekecewaan dan merasa ditipu merupakan awal dari konflik ini.

Konflik berikutnya yang dikenal dengan konflik January Agreement yang dibuat tahun 1974. Isinya menyangkut kesepakatan antara PT. FI dengan masyarakat suku Amungme dalam kaitan pematokan lahan penambangan dan batas tanah milik PT. FI dengan masyarakat adat setempat. Namun pada kenyataannya, diduga PT. FI telah mengambil tanah adat jauh di luar batas yang telah disepakati. Masyarakat adat semakin tergerser dan menjadi kaum pinggiran (pheripheral saja). Konflik-konflik berkaitan dengan January Agreement terus saja berlanjut sampai pembentukan Lemasa tahun 1992.

Konflik lainnya dipicu oleh kerusakan lingkungan yang semakin parah. Lemasa yang dikomandoi oleh Tom Beanal kemudian mengadakan musyawarah adat Lemasa (7-13 Desember 1998) yang menghasilkan 4 resolusi yang berisi tentang resolusi SDA, HAM, gugatan terhadap PT. FI dan meminta dialog nasional. Lemasa memang diyakini telah berubah dari gerakan sosial mejadi gerakan politik. Tahun 2003 terjadi kerusuhan di Timika, penyebab awal kerusuhan tersebut, bermula dari adanya peresmian Provinsi baru. Kemudian kematian orang AS di Timika juga memperpanjang daftar masalah PT. FI ini. Dan kejadian Abepura kali ini merupakan suatu rangkaian konflik yang tidak putus dari mata rantai konflik-konflik PT. FI.

Menurut keterangan Wakadiv Humas Mabes Polri Brigjen Pol. Anton Bahchrul Alam bahwa aktivis Front Papera Papua Barat, Selvius Bodi terlibat, namun sebenarnya tidak mudah melakukan deteksi dini atas kasus ini dikaitkan dengan link up gerakan internasional. Secara politik internasional tidak mustahil kasus Abepura terkait dengan agenda terselubung (hidden agenda) dari (1) berbagai gerakan separatis OPM, yang secara ilegal telah membuka perwakilan di Vanuatu, memanfaatkan gerakan melanesian brotherhood, serta melakukan lobi-lobi internasional di tempat pengasingan. (2) anggota Kongres AS yaitu Donald M. Payne (asal Newark, New Jersey) dan Eni FH Faleomafalega (Samoa Amerika) yang membuat surat kepada Menteri Luar Negeri AS dan Sekjen PBB tahun lalu, mempersoalkan legalitas proses bergabungnya Papua ke dalam NKRI melalui PAPERA pada 14 Juli-2 Agustus 1969 dan (3) Dewan Adat Papua yang meminta negara-negara Pasifik, Eropa, dan AS meninjau kembali Resolusi 2504 (XXIV) .

Kita juga berharap Polisi dan TNI jangan dijadikan petugas "pemadam kebakaran" atas berbagai limbah kebijakan pemerintah pusat. Rakyat jangan diaduhadapkan dengan aparat. Musuh kita adalah imperialis-imperialis gaya baru yang berbaju kapitalisme dengan mesin dan agen-agen perusahaan multi nasional yang dijalankan kaum neoliberalis yang menindas.

Andaikan saja pimpinan bangsa ini tidak munafik dan masih memiliki nurani yang sehat, perlu perenungan mendalam (kontemplasi) apakah kehadiran PT. FI lebih membawa berkah dan kemashlahatan bagi masyarkat Papua dan eksistensi NKRI atau malah sebaliknya. Setelah itu membuat keputusan yang "berani" , tegas dan memihak kepada kepentingan rakyat dan kedaulatan NKRI. Rakyat Papua sudah lelah dengan berbagai konfllik yang diakhiri dengan korban demi korban! Sebab, tanpa ada upaya konkrit dalam penanganan PT. FI, masyarakat Papua akan tetap diliputi oleh kabut ketidakjelasan masa depannya.



0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More